Nama | : Kaisar Atmaja |
Bio | : Pegiat WMC dan Dosen FISIP UIN Walisongo |
Siapa menduga perjumpaan dengan bulan suci Ramadhan kali ini terasa begitu berbeda dari yang sudah-sudah. Pertemuan dengan tamu agung yang sangat dinantikan itu, bertepatan pula dengan pandemi Covid-19. Wabah virus corona menjangkit secara serentak dimana-mana dan meliputi daerah yang luas (global). Sebagai upaya pencegahan penyebarannya, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan social (social distancing). Kebijakan itu tentu saja memengaruhi segala bentuk kegiatan amaliah Ramadhan tahun ini. Masjid dan musholla menjadi kian sepi karena tidak melaksanakan salat tarawih berjama’ah dan buka bersama, tidak ada tadarus dan ceramah agama yang saling menggema. Ramadhan terasa tidak semeriah dan sesemarak biasanya, sungguh atmosfer yang sangat berbeda. Orang-orang menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh suka cita namun sudah pasti dengan cita rasa khusus dan berbeda di tengah pembatasan social seperti ini.
Syahdan, pembatasan social juga memicu meningkatnya interaksi daring (dalam jaringan). Interaksi daring adalah interaksi jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet, sebagai pengganti interaksi langsung secara tatap muka. Interaksi daring tentu saja telah ada sejak orang mengenal internet, tapi situasi saat ini berbeda. Interaksi daring semakin meluas, lebih-lebih dalam proses pembelajaran dan aktifitas kerja. Dengan slogan: WFH, dan #DiRumahAja, para pendidik bekerja dari rumah, dan peserta didik belajar di rumah. Sekolah, kampus, hingga perkantoran menerapkan pembelajaran dan aktifitas kerja dalam jaringan (daring) melalui aplikasi zoom, video conference, dan berbagai media lainnya. Proses pembelajaran daring meningkat massal, simultan, dan meluas, dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dari aktifitas kantoran hingga rapat para pemangku kebijakan. Sehingga situasi itu telah menjadikan interaksi daring seakan-akan mengalami pandemi pula: pandemi interaksi daring (jika patut disebut begitu).
Dalam situasi demikian, stakeholders bidang pendidikan, misalnya, bergerak cepat dengan menerapkan belajar di rumah. Begitu pula dengan dunia kerja formal, pegawai-pegawai dibolehkan bekerja di rumah. Masing-masing menerapkan pola kerja dan system pembelajaran daring dalam merespon pembatasan sosial.
Kenyataan pembatasan social itu, menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam pada Ramadhan kali ini, untuk tetap termotivasi menjalankan amaliah secara maksimal. Umat Islam “dipaksa” untuk menahan diri beraktifas diluar rumah serta menyesuaikan diri dengan segala pembatasan social yang ada. Berlatih untuk tetap semangat mendirikan salat tarawih secara berjamaah di rumah bersama keluarga sebagaimana giatnya berjamaah taraweh di masjid. Latihan untuk tetap termotivasi menyalurkan sedekah walaupun tidak ada kegiatan buka puasa bersama. Belajar untuk selalu bergairah tadarus di rumah kendatipun tidak ramai dikelilingi orang lain. Itu semua tidak serta merta menjadi mudah untuk dijalankan, lebih-lebih bagi mereka yang masih awam dan masih membutuhkan dorongan-dorongan dari luar untuk dapat merasakan atmosfer atau suasana Ramadhan yang semarak dan meriah. Ingat, bahwa syiar adalah bagian dari cara untuk menggairahkan rasa keberagamaan umat Islam, dan itu untuk saat ini seakan menjad tugas berat bagi kita semua.
Tantangan lainnya dan juga peluang umat Islam adalah menyikapi situasi pandemic interaksi daring. Pergeseran interaksi langsung secara tatap muka ke interaksi daring, memberi peluang dan tantangan untuk tokoh agama dan kalangan umat Islam untuk bagaimana mereka dapat memanfaatkan lahan daring sebagai media dakwah. Dakwah daring tanpa disangka dan diduga saat ini harus hadir dan kian perlu sebagai bentuk syiar pada bulan suci Ramadhan kali ini. Ceramah agama dengan berbagai konten yang menarik menjadi semakin relevan sebagai pengisi kekosongan pengajian tatap muka yang biasa sudah berjalan di berbagai tempat.
Tentu ada banyak materi ceramah yang belum tersampaikan di masjid-masjid karena situasi pandemi. Ada berapa banyak momen kultum subuh dan tarawih yang tidak berjalan. Belum lagi materi pengajian menjelang buka bersama yang masih rapi tersimpan. Akan tetapi, pandemi interaksi daring memberi peluang besar untuk mengkreasikan cara-cara dakwah daring semaksimal mungkin. Yakni dengan mengisi ruang daring dengan konten-konten nilai keIslaman yang rahmatan lil ‘alamin. Arena dakwah daring kian ramai, belum lagi potensi kalangan milenial, yang juga rata-rata adalah remaja, pelajar dan mahasiswa. Ini masih tentang momentum Ramadhan, belum tentang Islam dengan tantangan teknologi masa depan, dengan potensi milenial seperti ini dan dengan pandemi interaksi daring ini, setidaknya ada secercah rasa optimis untuk secerdas mungkin mengenalkan Islam yang santun dan penuh kasih sayang. Maka dari itu, dalam musibah wabah pandemi Corana ini, kita berterima kasih dengan hadirnya bulan suci Ramadhan ini. Karena dengan hadirnya Ramadhan, arena daring dapat kita manfaatkan dan kita gunakan untuk kabaikan bersama. Wa Allah a’lam bis shawab
* Artikel ini juga dipublikasikan di Radar Semarang, Jawa Pos