Nama | : Anthin Lathifah |
Bio | : Anggota WMC dan Pengajar pada Fak. Syariah dan Hukum UIN Walisongo |
Puasa secara harfiah dimaknai menahan dan secara syar’iyyah dimaknai menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari sebagaimana QS al-Baqarah: 187. Menahan makan, minum dan menahan syahwat (menahan nafsu) seyogyanya merupakan upaya seseorang menjauhi segala perbuatan yang menjauhkan diri dari taqwa untuk mencapai derajat ketaqwaan yang menjadi tujuan puasa. Manakala upaya menahan diri tersebut dilakukan secara terus menerus tidak hanya pada saat Ramadan, tentu seseorang akan mencapai pada kebiasaan menahan dari hal-hal yang menjerumuskan diri dari sifat yang jauh dari taqwa untuk menuju diri pada ketaqwaan.
Menahan nafsu tidaklah mudah, butuh pengelolaan, kebiasaan serta kesadaran diri. Menahan nafsu berarti seseorang dilatih untuk tidak iri, dengki, hasud, tamak, emosi, riya, ujub, sum’ah, takabbur, mengguncing, merasa paling benar, mengambil yang bukan hak dan menahan diri dari seluruh perbuatan serta sifat-sifat jelek lainnya. Melatih bertaqwa berarti melatih diri untuk memberi, menebar kebaikan, menghargai sesama, menghargai perbedaan, menebar kasih sayang dan menebar perbuatan-perbuatan baik lainnya. Menahan nafsu perlu terus dilatih agar terbiasa dan dilakukan dengan kesadaran diri yang penuh. Kasadaran untuk selalu menjauhi nafsu ammarah, lawwamah yang menjauhkan dari sifat-sifat ketaqwaan, tentu harus diawali dengan niat yang iklas karena Allah dan kesadaran penuh atas apa yang dibuatnya dan apa akibat dari perbuatannya.
Dengan kata lain seseorang yang mampu menahan nafsu, menetapkan diri dalam kebenaran, mengelolanya menjadi kebaikan, membiasakannya menjadi amalan keseharian serta melanggengkannya dengan penuh kesabaran, berarti dia menjadi sosok yang mampu berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri merupakan cikal bakal dari terciptanya perdamaian yang lebih luas yakni perdamaian keluarga, perdamaian di lingkungan kerja, perdamaian di masyarakat, perdamaian di Indonesia dan perdamaian di dunia.
Begitupun sebaliknya seseorang yang tidak mampu menahan nafsu, membiasakan diri dengan sifat dan perbuatan jelek, melanggengkan amalan dalam kehinaan, tanpa bimbingan dan arahan keimanan, maka dia akan menciptakan kehancuran dirinya. Kehancuran seorang diri merupakan cikal bakan dari kehancuran yang lebih luas, yakni kehancuran keluarga, kehancuran lingkungan kerja, kehancuran masyarakat, kehancuran Indonesia dan kehancuran dunia.
Hingga saat ini kita menyaksikan kehancuran dunia yang diawali kehancuran diri seseorang. Seseorang yang merasa dirinya paling benar, menganggap selainya adalah salah, seseorang yang merasa pemahamannya paling benar, menganggap pemahaman lainnya salah hingga berujung pada menghakimi orang lain sebagai orang kafir tanpa pernah melihat kemungkinan kekafiran dirinya. Seorang pemimpin Negara yang serakah, ia ingin menguasai dunia, menjadikan negaranya sebagai negara adidaya, kemudian ia menguasai negara lainnya agar selalu bergantung padanya, tanpa memberi kesempatan negara lainnya maju Bersama.
Kita mengetahui dari sejarah bagaimana kasus terror atas nama agama dengan bom bunuh diri dikarnakan pemahaman sempit dan merasa benar sendiri, kita mengetahui bagaimana upaya penguasaan Israel atas Palestina tidak lain karena kekuasaan nafsu para penguasa yang membabi buta. Banyak Kisah dalam al-Qur’an bagaimana kekuasaan nafsu membawa fir’aun pada kehancuran, bagaimana keserakahan membawa Qarun pada kehinaan. Semoga dari itu semua menjadi pelajaran yang menyadarkan kita pada upaya untuk selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran serta melanggengkannya dalam amalan soleh. Semoga Allah selalu membimbing kita agar bisa menebar perdamaian pada diri sendiri untuk menciptakan perdamaian dunia dan kebaikan akhirat. Wa’Allahu a’lam bisshawab (AL)
* Artikel ini juga dipublikasikan di Radar Semarang, Jawa Pos