Nama | : Kasan Bisri, M.A. |
Bio | : Pegiat WMC dan Dosen FITK UIN Walisongo |
Ramadhan dalah bulan istimewa bagi masyarakat muslim seluruh dunia. Bulan yang penuh dengan kemurahan dari Allah SWT ini selalu ditunggu kedatangannya oleh setiap muslim. Bahkan sejak dua bulan sebelum Ramadhan, yakni Rajab dan Sya’ban, Rasulallah telah mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa “Ya Allah berkatilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan” (HR. Al-Baihaqi).
Di Indonesia sendiri, kedatangan bulan suci ini disambut dengan suka cita dan meriah. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk menyambutnya. Misalnya tradisi Dugderan di kota Semarang yang telah berlangsung ratusan tahun. Perayaan yang meriah ini dikemas dalam bentuk kirab, karnaval, pesta kuliner dan pasar malam. Di kota lain seperti Kudus juga ada tradisi Dandangan yang hampir serupa dengan Dugderan. Sementara itu di Jawa timur ada tradisi Grebek Apem di mana masyarakat memperebutkan 21 gunungan kue apem dalam rangka menyambut Ramadhan. Dan masih banyak tradisi serupa yang di berbagai daerah di bumi Nusantara ini.
Tradisi-tradisi di atas merupakan wujud suka cita masyarakat muslim Indonesia yang menandakan akan datangnya bulan puasa. Inilah Pesta Rakyat menyambut Ramadhan. Sebuah kearifan lokal yang digagas oleh para penyebar Islam di Nusantara. Ramadhan bukanlah bulan hijriyah biasa. Ia adalah bulan di mana pahala dilipat gandakan dan bulan dimana dosa dihapus. Oleh karena itu kedatangannya disambut dengan pesta rakyat bak panen raya dimana setiap orang meluapkan rasa gembira dan bahagia penuh suka cita dengan berbagai ekspresi budaya.
Perlu dicatat bahwa pesta rakyat menyambut kehadiran bulan Ramadhan ternyata memiliki dasar normatif. Rasulallah pernah berpesan “Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya bulan suci Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasadnya untuk masuk neraka”. Hadis Rasul ini bisa ditelusuri dalam kitab Durrotun Nasikhin karya Imam Utsman bin Hasan Al-Khaubawi. Kitab ini sangat populer di Indonesia, dan bahkan menjadi rujukan di dunia pesantren (Martin van Bruinessen). Namun demikian tidak sedikit ulama yang mengkritik kualitas hadis-hadis yang ada dalam kitab ini.
Terlepas dari validatas hadis di atas yang tidak memiliki sandaran yang kuat. Para ulama Nusantara penyebar Islam secara kreatif me-resepsi (menerima, menanggapi, merespon) hadis tersebut dalam bentuk praktik upacara sosio-religi. Upacara penyambutan Ramadhan seperti di atas telah menjadi tradisi pesta rakyat yang bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Bahkan sekarang menjadi daya tarik wisata untuk mendulang pendapatan daerah.
Keberadaan tradisi penyambutan bulan suci dengan sebuah pesta seperti tidak terlepas ijtihad kreatif dalam memahami dan mengamalkan teks-teks agama. Memang tidak mudah untuk melakukan Ijtihad kreatif ijtihad semacam ini, tidak hanya memerlukan kedalaman ilmu tetapi juga membutuhkan keluasan hikmah (kearifan) dan daya imajinasi religi yang tinggi. Teks agama tidak melulu berhenti pada makna literal melainkan selalu mampu diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Ijtihad kreatif inilah yang diwariskan oleh para Walisongo dan ulama Nusantara lainnya.
Dalam kodisi pandemi semacam ini, banyak tradisi pesta rakyat penyambutan Ramadhan di daerah-daerah ditiadakan. Pemerintah dengan berbagai kebijakannya melarang seluruh kegiatan yang mengundang dan mengumpulkan masa dalam jumlah banyak, karena hal ini rentan akan penyebaran virus Covid 19. Tentu hal ini membuat Ramadhan tahun ini terasa berbeda.
Sebagai muslim Indonesai tidak perlu risau dengan tidak adanya pesta rakyat Ramadhan, yang perlu kita lakukan adalah meneladani ijtihad kreatif para wali. Dengan ijtihad kreatif ini kita bisa memaknai sabda Rasul tentang menyambut Ramadahan dengan ekspresi kebahagiaan yang lebih luwes. Tentu sabda ini tidak harus dimaknai dengan mengadakan pesta dan perayaan secara fisik ansich.
Hadis Rasul di atas juga bisa dimaknai dengan mengimplemenasikan rasa syukur kita karena bertemu bulan Ramadhan. Rasa syukur ini bisa kita wujudkan dengan menyiapkan diri sebaik-baiknya melalui niat yang positif dan optimis bahwa Ramadhan tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya. kita juga bisa mempersiapkan amalan-amalan yang menjadi target di bulan suci ini dengan memperbanyak ibadah yang bersifat vertikal kepada Allah maupun yang bersifat horizontal kepada sesama makhluk Allah. Ibadah ini bisa mewujud dalam kehidupan sosial maupun digital. Dan tentu masih banyak aktifitas positif lainnya yang bisa kita lakukan.
Oleh karenanya, wabah tha’un Corona yang melanda berbagai negara ini, selayaknya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk tidak bahagia dengan datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Maka marilah kita tetap berbahagia dengan hadirnya bulan suci ini meski dengan berbagai keterbatasan dan hilangnya kemeriahan yang sudah mentradisi ini. Wallahu a’lam bi shawab.
* Artikel ini juga dipublikasikan di Radar Semarang, Jawa Pos