Nama | : Misbah Zulfa Elizabeth |
Bio | : Sekretaris Walisongo Mediation Center & Dekan FISIP UIN Walisongo |
Ramadhan tahun 1441 Hijriyah tahun ini datang dalam sebuah situasi yang sangat khusus. Bagaimana tidak, bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh ummat Islam datang dalam kondisi ketika dunia, tidak hanya Indonesia, “prihatin” dengan penyebaran wabah COVID-19. Pemerintah, ulama, serta berbagai komponen masyarakat berupaya keras untuk menghambat persebaran virus baru tersebut. Berbagai formula diperkenalkan yang orientasinya untuk menghambat penyebaran Covid-19 itu antara lain harus dilakukan penjagaan kebersihan diri, penjagaan kesehatan diri, menjaga kontak fisik dengan orang lain, dan etiket ketika batuk dan bersin. Tidak cukup itu saja karena menurut data, virus itu sudah demikian menyebar sehingga kontak antar manusia harus dibatasi. Muncullah term lockdown, yang memindah aktifitas publik ke rumah. Didiseminasikankan istilah: Stay@Home, Work from Home, dan lain-lain yang maksudnya adalah pembatasan aktifitas publik masyarakat di luar rumah.
Dapat dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakat harus berjalan, ketika semua orang harus tinggal di rumah. Para pedagang, pemberi layanan publik, sektor-sektor informal, buruh pabrik merasakan dampak dari kebijakan untuk menghambar persebaran COVID-19 itu. Dalam konteks ini pemerintah juga telah bertindak dengan cara memberikan program-program dukungan bagi masyarakat yang terdampak. Namun tentu beban pemerintah sangat berat tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu sangat penting untuk mengamati bagaimana respon masyarakat terhadap kondisi masyarakat lain yang terdampak. Untuk mengamati hal ini, relevan sekali untuk melihat fenomena masyarakat saat ini secara umum, masyarakat yang terdampak, dan datangnya bulan suci Ramadhan dengan menggunakan kerangka fikir modal sosial.
Menurut Nan Lin (2003), modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk berasosiasi, berhubungan antara satu dengan yang lain dan selanjutnya menjadi kekuatan penting dalam ekonomi dan aspek eksistensi sosial lainnya.Modal sosial terbangun dari tiga unsur, yaitu kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan sosial (social networking). Ketiga unsur inilah yang dalam bulan Ramadhan dapat di-upgrade menjadi modal sosial yang semakin berbobot Qur’ani. Hal ini dimungkinkan karena dalam bulan Ramadhan ini berbagai upaya upgrading dilakukan dalam berbagai kesempatan. Media taklim diselenggarakan di hampir semua lingkaran organisasi sosial dan masjid. Waktunya dari kajian sehabis subuh, dhuha, bakda dhuhur, menjelang buka puasa, dan tarawih. Media taklim ini tidak terpengaruh oleh situasi pandemi. Jika dalam situasi normal media taklim dapat dilaksanakan secara langsung, maka dalam kondisi pandemi taklim dilaksanakan secara virtual.
Unsur kejujuran yang menjadi salah satu prasyarat modal sosial memang menjadi ruh dari puasa itu sendiri, karena puasa betul-betul melatih kejujuran. Apakah seseorang benar-benar melaksanakan puasa, hanya individu itu dan Allah saja yang mengetahui. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa:” Allah SWT berfirman, Puasa itu rahasia antara Aku dan hamba-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjar pahalanya”. Oleh karena itu kejujuran yang dibentuk dari ibadah puasa adalah kejujuran yang ilahiah, bukan kejujuran yang berbasis kemanusiaan semata.
Taklim yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan juga memuat kandungan tentang nilai-nilai Al-Qur’an, yang meskipun selama ini telah diajarkan oleh para tokoh agama, namun terus dikuatkan dalam bulan Ramadhan ini. Nilai-nilai ini merupakan nilai yang berbeda dari nilai sosial yang berbasis dari kesepakatan sosial, namun nilai yang ditetapkan oleh Allah. Nilai ilahiah yang dikembangkan menjadi society norm tentu akan memiliki bobot nilai yang berbeda, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Furqon: 1 bahwa Al-Qur’an itu sebagai pembeda. Norma kehidupan ini penting dalam rangka untuk menjaga agar masyarakat tidak melanggar dan bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Sebagaimana suatu norma, Al-Qur’an juga memberikan sangsi atas pelanggarah terhadap larangan yang telah ditetapkan.
Unsur modal sosial yang selanjutnya adalah jejaring sosial untuk menjalankan kehidupan sosial. Perintah Al-Qur’an berkait dengan hubungan antar manusia (hablun minan naas) sangat lengkap. Ayat-ayat tentang pentingnya kepedulian, silaturrahmi, menjaga hubungan kasih sayang juga banyak disampaikan di berbagai taklim dalam bulan Ramadhan.
Norma, kepercayaan, dan jaringan sosial yang dibentuk secara Qur’ani dalam bulan Ramadhan ini tentu dalam proses implementasinya membutuhkan pembelajaran dan ajakan. Dengan proses taklim dalam bulan Ramadhan, modal sosial yang terbentuk akan menguatkan keyakinan (tauhid) masyarakat, serta menguatkan solidaritas sosial dan kepedulian. Masyarakat yang demikian ini yang akan menjadi entity yang mampu untuk mengatasi bebagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat itu, memberikan kontribusi bagi terbentuknya integrasi sosial, solidaritas, kerja sama serta partisipasi masyarakat yang lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga amalan Ramadhan kita dapat menguatkan modal sosial kita.
* Artikel ini juga dipublikasikan di Radar Semarang, Jawa Pos