Gibah online merupakan ekspresi verbal warga net untuk menempatkan saudaranya secara tidak bermartabat di ruang digital. Ketidak martabatan tersebut diilustrasikan Al-Quran seperti seseorang yang tega memakan bangkai saudaranya sendiri. Aktivitas gibah online menjadi bagian kritik terbuka dan terbatas di grup pesan instan, dan media sosial. Untuk membenarkan perilaku ini, seringkali, gibah dialih bahasakan dengan istilah studi tokoh dan bedah biografi.
Aktivitas warga net mengalami peningkatan di masa pandemi. Hal ini dikarenakan, aktifitas terkonsentrasi di rumah, kegiatan dilangsungkan secara online dan dampak psikologis dari perubahan rutinitas yang diekspresikan di ruang digital. Data dari Kementerian informasi mengonfirmasi ada peningkatan sekitar 5-10 persen. Jenis aktifitasnya beragam, mulai dari penggunaan aplikasi belajar online, aplikasi penunjang bekerja di rumah dengan fitur konferensi video dan aplikasi pesan instan.
Penggunaan pesan instan seperti Whatsapp mencatatkan kenaikan sebesar 40 persen. Diantara konten yang menjadi perhatian kita adalah gibah, mencacat dan mengggunjing orang lain. Pertanyaanya, bagaimana menyikapi gibah online ini secara bijak?
Gibah online merupakan aktitas membahas keterbatasan seseorang yang apabila ia mengetahuinya, tidak ridha. Objek gibah beragam. Adakalanya cirri fisik, aktivitas, capaian kinerja, gaya mengajar, berdiskusi, bersosialiasi dan lain sebagainya. Caranya bervariasi, dengan tulisan, lisan, simbol, emoticon, bahasa tubuh, dan lain-lain.
Perbedaan gibah online dengan gibah di ruang nyata ada dua hal. Pertama, media yang digunakan, media social dan pesan instan seperti WA group. Kedua, cara menyampaikannya, dengan teks, audio atau video call. Ada kecenderungan, gibah online semakin mewabah karena media social dan pesan instan memiliki falisitas pendukung, seperti penghapusan pesan rahasia secara otomatis (disappearing messages).
Sementara itu, ada beberapa motivasi seseorang melakukan gibah. Zainuddīn al-Jubā’ī al-‘āmilī al-Syāmī menjelaskannya di kitab Kasyf al-Raibah ‘an Ahkām al-Ghībah, pertama, kemarahan. Kemarahan terhadap seseorang adalah factor dominan yang mendorong gibah. Kemarahan seperti bara api, semakin disulut akan semakin menyala. Hal ini adakalanya karena merasa dikecewakan, difitnah, didzolimi, atau didiskriminasi.
Kedua, komunitas/grup online. Perjumpaan virtual di grup terkadang memicu kepada gibah. Pada mulanya, tujuan dibentuknya grup adalah untuk menjalin komunikasi dan koordinasi. Namun, ketika ada kesamaan perasaan dan situasi, maka dorongan untuk gibah tak terbendung. Akhirnya, yang awalnya bermula dari dialog, menjadi gibah berjamaah.
Ketiga, degradasi objek gibah. Seseorang melakukan gibah bertujuan untuk melakukan kampanye negative terhadap objek gibah, baik untuk kepentingan politik, persaiangan bisnis atau kontestasi lain. Targetnya adalah citra objek gibah menjadi rusak di masyarakat. Hal ini bisa kita temui dengan banyak ujaran kebencian terhadap sosok tertentu dalam situasi kontestasi.
Keempat, cuci tangan dan pengkambing hitaman. Subjek dan objek gibah sama-sama terlibat dalam sebuah kegiatan tertentu. Ia menjelaskan kepada orang lain bahwa ia adalah orang baik, melepaskan diri dari hal tersebut. Ia justru mengkambing hitamkan objek gibah sebagai pelaku utamanya.
Kelima, meninggikan diri dengan menjatuhkan yang lain. Subjek gibah bermaksud membandingkan kulitas dirinya dengan merendahkan objek gibah. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan kualitas akademiknya, ketidak cakapannya, ketidak sigapannya. Tujuannya adalah agar orang menilai ia memiliki kredibilitas yang baik.
Keenam, hasud. Subjek gibah tidak rela jika objek gibah mendapat sanjungan dan pujian dari masyarakat. Ia merasa iri hati terhadap apapun yang dimiliki oleh objek gibah. Ia bahagia jika objek gibah sengsara. Maka, ia berusaha untuk mengungkapkan kejelekan dan keburukannya kepada pihak lain agar tidak memujinya, tapi membencinya.
Ketujuh, bercanda dan menertawakan aib dan keterbatsan objek gibah. Menghibur orang lain dengan menertawakan orang lain adalah bagian dari gibah online. Seperti berkata jangan tidur terus seperti si Fulan yang suka tidur, atau mengomentari status dengan menggunakan stiker foto seseorang yang menghina yang bersangkutan, yang lain tertawa, objek gibah akan sedih jika mengetahuinya.
Pola mendasar dari gibah sebenarnya bermula dari tiga hal: merendahkan, menertawakan orang lain dan meninggikan diri. Upaya paling mungkin dilakukan adalah menjaga kewarasan diri di tengah wabah gibah online yang masif di sekitar kita. Caranya, dengan menyadari bahwa setiap orang ingin diperlakukan baik sebagaimana dirinya sendiri. Setiap orang juga tidak ingin disakiti sebagaimana diri sendiri. Menyayangi orang lain adalah bagian dari mengasihi diri sendiri. Meninggalkan gibah adalah bagian subtantif menjadi manusia yang memanusiakan yang lain secara bermartabat.