Tanpa terasa, kita berada di bagian sepuluh akhir Ramadhan. Nabi Saw contohkan untuk kencangkan ikat pinggang bukan semata menahan makanan karena hal itu telah dilakukan sejak awal Ramadhan, melainkan pengendalian nafsu sex yang halal dilakukan selama malam harinya hingga tersisa 10 akhir Ramadhan, beliau tekad untuk I’tikaf di masjid yang Allah tetapkan salah satu ketentuannya untuk tidak berkumpul dengan istrinya (Qs al-Baqarah 2: 187).
I’tikaf berarti tinggal atau berdiam diri di suatu tempat. Di masa awal Islam bahkan era sebelumnya yaitu masa Jahiliyah, ia merupakan konsep rehat sejenak hingga moment untuk evaluasi diri (muhasabah). Salah satu bukti laku ini telah dikenal sebelum Islam adalah isyarat HR al-Bukhari tentang kisah Umar bin al Khaththab masa Jahiliyah, ia bernadzar untuk i’tikaf di masjidil Haram (sekitar Ka’bah), dan Nabi Saw mengizinkan untuk dipenuhi nadzar tersebut.
I’tikaf dalam konteks Islam menjadi moment evaluasi diri, dinamai demikian untuk melihat apa yang telah dilakukannya dan apa yang belum serta apa yang akan dilakukan kedepan yang terbaik. Wahana untuk dapat jernih memotret laku adalah saat-saat dekat kepada Allah, jauh dari nafsu duniawi dan timing yang tepat adalah puncak ibadah (akhir-akhir puasa Ramadhan), di masjid (tempat bersujud kepada Allah), dan outputnya mendapat pencerahan ataupun hidayah Allah yang menjadi tonggak perubahan dirinya menjadi lebih baik (al-qadar). Hal terakhir ini pulalah yang diharap setiap umat saat beri’tikaf yaitu memperoleh lailatul qadr, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan (Qs al-Qadr 97: 1-5)
Evolusi konsep I’tikaf dari sekedar rehat hingga evaluasi diri di masjid untuk mendapat lailatul qadr perlu mendapatkan sentuhan baru (reformulasi) hingga kita tidak terjebak kepada rutinitas tinggal di masjid, lebih-lebih beramai ramai sehingga tidak memberikan dampak perubahan apapun sebelum dengan sesudah melakukan I’tikaf. Bukanlah I’tikaf membutuhkan keheningan, sebagaimana kisah Nabi saw yang menunda I’tikafnya karena diikuti banyak istrinya (HR Muslim dari Aisyah), bahkan di lain kesempatan Nabi Saw menegur orang yang membaca al-Qur’an baik saat shalat maupun di luar shalat untuk tidak dikeraskan di sisi beliau yang sedang I’tikaf sebagaimana riwayat Abu Sa’id, dia berkata; “Rasulullah Saw beri’tikaf di Masjid, lalu beliau menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.(HR Abu Dawud)
Tulisan ini sekedar tawaran tentang formulasi I’tikaf sebagai wahana evaluasi diri di akhir-akhir Ramadhan, dengan iringan doa mudah-mudahan puasa kita diterima Allah serta mendapatkan anugerah lailatul qadar. Kita maklumi bahwa setiap manusia dinilai dari amalnya, laku demi laku akan membuahkan catatan amal, dan tidak ada amalan manusia yang bebas dari kesalahan, bahkan Nabi saw menyampaikan bahwa setiap manusia pembuat salah, tapi sebaik-baik pembuat salah adalah yang bertaubat (HR at-Turmudzi dari Anas).
Diam saja tidak menjadikan orang lebih baik, oleh sebab itu diam saat I’tikaf bukan untuk selamanya, melainkan sebuah moment untuk merancang laku yang lebih baik dari laku sebelumnya. Oleh sebab itu rukun I’tikaf yang perlu diperhatikan adalah penyiapan program ini baik dari sisi tempat, waktu dan kegiatan yang dilakukan di dalamnya.
Pertama, tentang persiapan tempat, Nabi Saw member contoh dengan menyiapkan sendiri tempat untuk i’tikaf atau pun disiapkan oleh istrinya di bagian Masjid sebagai tempat paling strategis untuk berfikir yang lebih jernih untuk menyambut bimbingan Allah. Kedua, ditempatkan di sepuluh akhir Ramadhan sebagai moment puncak-puncaknya kedekatan diri hamba dengan Allah, di dukung ketiga, melakukan amalan-amalan yang sifatnya ibadah ukhrawi serta melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi yang akan mempengaruhi bimbingan Allah yang diharapkan tidak dikeruhkan oleh kepentingan-kepentingan duniawinya.
Pada akhirnya, mari kita kembangkan budaya I’tikaf Nabi Saw untuk menyongsong hidup yang lebih baik di masa mendatang sesuai bimbingan Ilahi, sudah barang tentu di akhir-akhir Ramadhan ini sebagai moment puncak pendekatan diri kita kepadaNya dan di tempat-tempat kita bersujud kepadaNya, yang untuk saat ini dapat kita lakukan di masjid-masjid rumah kita). Sehingga kita akan peroleh bimbinganNya yang menggiring kita kepada kemulyaan dan meraih lailatulqadr yang dijanjikanNya. amin