Boleh jadi, tiba-tiba kita teringat kalkulator ketika memahami ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi yang memotivasi ibadah atau laku-laku kebajikan lainnya. Rasanya diri kita ingin ikut pula menghitung, sudah berapa digit pahala yang kita akumulasi di bulan suci Ramadhan ini, meski baru masuk di pertengahannya saja, sekaligus seberapa banyak pula dosa dan kemaksiatan yang terhapus melalui serangkaian ibadah yang dengan tekun kita lakukan. Ah. Lebay amat !
Pertanyaannya, memang apakah boleh mengharap dapat pahala besar sekaligus memperoleh ampunan atas dosa yang telah kita perbuat saat kita intensif terlibat dalam laku kebajikan dan ibadah? Kalau kita mau menyimak pesan-pesan Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, jawabannya ya tentu boleh-boleh saja, karena memang Allah sendiri lah yang “mengajari”, dan demikian pula Rasulullah.
Betapa dalam Al-Qur’an kita bisa menemukan ayat yang “mengajari” penggunaan kalkulator dalam laku kebajikan. Dalam Al-Baqarah: 261, misalnya, Allah berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Tercatat sebuah cerita terkait ayat ini bahwa Imam Ahmad meriwayatkan dari Iyadh bin Ghatif, ia berkata: kami menjenguk Abu Ubaidah yang sedang mengeluh sakit pinggang, sementara istrinya sedang berada di sisi kepalanya. Kami bertanya: “Bagaimana Abu Ubaidah melewati malam?”. Sang isteri menjawab: “Demi Allah dia telah melewati malam dengan mendapat pahala”. Lalu Abu Ubaidah menjawab: “Aku tidak melewati malam dengan mendapat pahala”. Dia waktu itu menghadap ke tembok, lalu merubah posisi menghadap ke orang-orang sambil berkata: “Tidakkah kalian bertanya apa yang aku katakan tadi? Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berinfak di jalan Allah maka akan digandakan menjadi tujuh ratus kali, dan barangsiapa yang berinfak untuk dirinya, atau menjenguk orang sakit, atau menyingkirkan sesuatu yang menghalangi jalan, maka kebaikannya digandakan sepuluh kali; dan puasa adalah perisai selama dia tidak melubanginya, dan barangsiapa yang diuji oleh Allah dengan ujian pada badannya maka baginya ampunan dari dosa”.
Riwayat ini sangat jelas membolehkan kita untuk “peritungan” dengan amal dan ibadah yang kita lakukan. Lebih dari itu amal dan ibadah juga dihubungkan dengan konsep pengampunan dari dosa. Bukankah Rasulullah bersabda: Bertakwalah di mana pun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapusnya, dan berperilakulah dengan manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Ahmad dan Tirmizi dari Abu Dzar).
Terkait dengan puasa, Rasulullah bahkan bersabda:”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim). Tidak disangkal lagi bahwa dalam hadis-hadis tentang fadlail al- A’mal, ibadah itu memiliki fungsi sebagai penebus dosa (al-ibadah likaffarat al-dzunub).
Menariknya, pada Fungsi Inilah pada umumnya kita ini menambatkan hati dan pikiran kita. Tak heran jika begitu Ramadhan tiba, para Kyai, ustadz, muballigh dan penceramah terkesan “mengeksploitasi” fungsi Ini sedemikian rupa untuk memotivasi umat menjalankan ibadah di bulan suci. Saking kesengsemnya kita dengan fungsi ibadah sebagai akumulator pahala dan penebus dosa ini, terkadang kita lupa fungsi ibadah yang lainnya, yakni sebagai instrument pendidikan dan pengajaran (al-ibadah wasilah li al-ta’dib wa al-tarbiyyah).
Ibadah dalam fungsi ini harus dilihat dari perspektif output dan outcome. Adakah ibadah kita memiliki atsar atau berimplikasi pada status jiwa kita, termasuk perubahan perilaku ritual dan perilaku sosial kita. Sejauh mana ibadah kita itu berkontribusi nyata pada “kemesraan substantif” kita dengan Sang Pencipta sekaligus pada perbaikan pola perilaku kita, pola pikir, sikap, ucapan dan tindakan kita. Pendeknya, bagaimana ibadah kita berkontribusi nyata dalam membuat kita semakin saleh secara ritual dan secara sosial.
Jika sikap kita terlalu heavy pada konsep ibadah sebagai akumulator pahala dan penebusan dosa sembari abai terhadap konsep ibadah sebagai instrument pendidikan dan pengajaran, maka yang terjadi adalah serentetan ironi. Boleh jadi karena terlintas pikiran bawah sadar “angka-angka dalam kalkulator ibadahku menunjukkan surplus pahala devisit dosa”. Tak heran, ketika Ramadhan kita berdisiplin tinggi dan berkhusyuk ibadah, begitu Syawal belum beranjak perilaku kita menjadi tak terkendali. Atau dalam ibadah haji kita mengenalnya dengan “Haji Tomat”. Saat haji tobat, pulang haji kumat ! Na’udzubillah.