Ramadhan tahun ini memang serasa berbeda. Tradisi nyadran dan megengan sebagai ritual menyambut bulan puasa yang melekat pada masyarakat Muslim di Jawa tidak terlihat serame seperti tahun tahun sebelumnya. Dugderan sebagai moment pasar rakyat yang dihelat khusus untuk menyambut Ramadhan, kali ini pun ditiadakan. Masyarakat mulai membatasi segala bentuk aktivitas yang melibatkan massa banyak sebagai upaya mendukung kebijakan pemerintah untuk mengurangi dan memutus rantai penyebaran Pandemic Covid-19 yang sejak Maret lalu mulai menelan korban jiwa dan pelan-pelan menampakkan dampaknya di tengah masyarakat.
Pandemi Covid -19 membuka mata dan fikiran kita bahwa negara adidaya seperti Amerika, yang memiliki teknologi canggih pun mengangkat tangan atas wabah Covid-19 yang melanda negaranya. Hingga (26/04) di Amerika tercatat ada 895.766 orang yang dinyatakan positif Covid-19 dan 50.439 yang meninggal. Sedangkan di Indonesia jumlah warga yang dinyatakan positif sejumlah 8.882 dan 743 yang meninggal. Demikian, baru dampak dari dimensi kesehatan, belum psikologi, social, ekonomi dan keagamaan.
Jika laju waktu yang berjalan bisa diputar balik atau dihentikan, bisa dipastikan bahwa semua masyarakat dunia akan sepakat untuk menolak pendemi Covid-19 menjangkiti bumi ini. Akan tetapi waktu adalah waktu, gerak lajunya tidak mungkin dihentikan. Begitu pula dengan Ramadhan, kedatangannya yang sudah sesuai dengan perhitungan tidak bisa diundur atau diajukan. Ada atau pun tanpa pandemi, Ramadhan senantiasa dinanti dengan sepenuh hati oleh seluruh muslim di bumi ini.
Bulan Ramadhan memiliki banyak nama dari bulan Suci, bulan Al Qur’an, Bulan Keberkahan dan Bulan Puasa. Ramadhan sebagai bu lan puasa menurut arti bahasa berarti ash –shiam yang artinya al- Imsak (menahan). Sedangkan secara istilah adalah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai waktu maghrib dengan niat mencari ridho dari Allah, menurut Faridl (2007). Akan tetapi dalam kondisi yang tidak biasa di tengah Pandemi Covid -19 seperti ini, reintrepretasi makna puasa, yaitu al- Imsak (menahan) bisa menjadi sebuah tindakan progresif karena lebih substantive dan diharapkan bisa menjawab kebingungan masyarakat dalam bertindak khususnya berkaitan dengan ibadah di tengah pademi Covid -19. Pemaknaan yang lebih luas ini didasarkan semata-mata hanya mencari keridhaan Allah atas apa yang dikerjakan. Seperti firman Allah dalam Surat Ar-Ra’ad, ayat 22 yang artinya “dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan sholat, dan menafkahkan sebagian rizeki yang kami berikan….”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa sabar adalah salah satu cara mencari keridhaan Allah SWT. Dan berpuasa adalah separuh dari kesabaran itu sendiri sebagaimana dikatakan dalam satu riwayat hadis Rasulillah saw.
Perwujudan sikap sabar itu bisa dalam bentuk menahan diri untuk tidak melaksankan tarawih berjama’ah di masjid atau di musholla, tadarus al Qur’an bersama-sama, berbuka puasa dan atau sahur bersama keluarga, saudara, sahabat, teman sejawat di luar rumah, mendatangi majelis ilmu secara langsung, serta mudik. Sebisa mungkin semua kegiatan tersebut dikerjakan di rumah dan tidak tidak melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sudah ditetapkan statusnya menjadi zona merah. Hal ini sebagimana uraian hadis yang artinya “apabila wabah itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu”, (HR Bukhari dan Muslim).
Hal yang demikian tidak akan mengurangi sedikit pun kualitas ibadah yang kita kerjakan. Di tengah pandemic seperti ini menaati himbauan pemerintah untuk menjalankan protocol kesehatan dengan melakukan physical distancing, work and pray from home, stay at home, selalu mengenakan masker ketika terpaksa keluar rumah, menghindari kerumunan dan keramaian serta sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir sebelum dan setelah menyentuh sesuatu dari luar rumah merupakan sebuah tindakan yang sudah tepat.
Tidak hanya reinterpretasi makna puasa, toleransi sebagai penguat ukhuwah wathaniyah pun harus senantiasa diteguhkan. Bulan suci ini bisa menjadi ajang yang tepat untuk senantiasa merawat, meruwat dan meneguhkan toleransi antar umat beragama. Sebelum pandemic melanda, berbagai undangan untuk kegiatan berbuka puasa, pembagian sembako dan kegiatan-kegiatan yang menguatkan rasa toleransi yang dilakukan saudara-saudara non muslim begitu riuhnya.
Meskipun demikian, bukan berarti, karena pandemic Coronan ini, upaya untuk tetap merawat dan menuguhkan toleransi ikut mengalami stagnasi pada ruang hampa tak bermakna. Toleransi harus tetap berjalan sebagaimana mestinya, walau dalam dimensi yang berbeda, dari dunia nyata bergeser ke dunia maya. Toleransi dan harmonisasi harus terus dikuatkan, member ucapan selamat berbuka adalah contoh sederhana namun bisa menjadi mengena jika dilakukan dengan penuh ketulusan, begitu sebaliknya bagi muslim tidak enggan pula mengucapkan selamat makan siang bagi sahabatnya yang non muslim. Social distancing bukanlah janganlah sekat untuk tidak saling terikat. Tindakan orang dalam dan terhadap situasi, merupakan interaksionisme simbolik, dalam Ritzer (2012). Maksudnya adalah orang akan mudah merespon tindakan atas situasi di mana tempat orang berada. Maka dari itu dalam situasi dan kondisi apapun sejatinya orang bisa dengan mudah beradaptasi sehingga tidak ada alasan untuk tidak terus meneguhkan toleransi. Tetap di rumah dan terus jaga ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah di antara kita bangsa Indonesia dengan penuh harap semoga musibah ini segera sirna dari bumi kita tercinta.