Puasa Ramadhan merupakan fenomena religius yang sangat dinanti semua kaum Muslimin. Sebagai salah satu rukun Islam, puasa Ramadhan dapat dijadikan sebagai wahana peningkatan spritualitas, menyucikan jiwa (tazkiyat an-nafs), membangun optimism menuju derajat muttaqin dan memekarkan solidaritas sosial. Lebih-lebih pada Ramadhan tahun ini, semua umat Islam melaksanakan puasa pada situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi Korona telah menjungkir balikkan struktur kehidupan manusia. Dari persoalan pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan hingga agama. Wajar jika puasa kali ini, ritual puasa lebih banyak dilakukan di rumah masing-masing, dalam suasana saling menjaga jarak social dan spiritual (social and spritual distancing).
Semua itu dilakukan dalam upaya bersama-sama pemerintah dan warga bangsa untuk memutus penyebaran virus ini dan sebagai realisasi sebagai muslim yang taat pada ulil amri dan perintah agama untuk senantiasa menjaga diri (hifdzu al-nafs). Apalagi melihat perkembangan virus korona yang semakin menghawatirkan bagi keselamatan jiwa.
Memang berpuasa pada situasi seperti ini sangat tidak diharapkan oleh semua masyarakat muslim. Apalagi bagi Islam Nusantara yang sangat menonjol dengan berbagai balutan tradisi keagamaan yang syarat dengan budaya “kumpulan, sungkeman, dan saling berkunjung” misalnya. Puasa kali ini, sungguh merubah tradisi yang kerap dilakukan masyarakat muslim kebanyakan (baca: mainstream). Masjid dan mushalla yang biasanya penuh sesak ramai dengan shalat berjamaah terawih dan tadarus al-Qur’an. Sekarang nampak sepi dan kebanyakan ditutup dari aktivitas ibadah. Tradisi sungkeman yang biasanya digelar sebelum puasa untuk memohon maaf kepada kedua orang tua yang masih hidup saat ini digeser melalui daring (on line). Itu pun bagi mereka yang “melek” teknologi. Begitu pula dengan tradisi ‘nyekar’ ke makam untuk mendo’akan kedua orang tua yang telah wafat, sudah pasti tidak bisa dilaksanakan. Belum lagi dengan tiadanya perayaan mudik menjelang hari raya, yang biasanya menggambarkan suasana ekspresi kemenangan dan kegembiraan bagi umat Islam.
Maka dari itu, puasa saat ini harus dijadikan proses pengendalian diri menjadi seseorang yang mempunyai kualitas personal dan kematangan jiwa. Puasa harus bisa mendatangkan imajinasi positif bagi setiap muslim. Semakin baik puasa seseorang maka, ia akan selalu bisa mengontrol nafsunya sehingga tidak mempunyai pikiran-pikiran negatif yang sering kali muncul terutama sekali ketika menghadapi masalah dan dapat menyebabkan stres, cemas maupun depresi obsesif.
Sekaligus melakukan riyadhah bathiniyyah melalui ritual puasa mendekatkan diri pada Allah dan melakukan pertaubatan serta berdoa penuh keikhlasan semoga wabah korona segera berakhir. Momentum puasa di bulan Ramadhan ini, tidak ada salahnya jika kita jadikan waktu khusus merealisasikan wasiat Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani, yaitu: “Aku wasiati kalian agar selalu berdzikir, berwirid dan punya waktu khusus bersama Allah untuk berdoa dan berdzikir di tengah keheningan malam”.
Jika seorang muslim mampu menerima wabah korona dengan lapang dada dengan disertai usaha siang malam untuk mencegah penyebarannya (tawakkal) serta senantiasa diiringi sikap optimis dan husnudhan pada Sang Khalik. Maka, puasa di tengah pusaran pandemic korona ini justru benar-benar mampu meningkatkan kualitas spritualitas. Sekaligus menaikkan derajat seorang muslim menjadi pribadi yang beriman dan berjiwa muthmainnah.
Seseorang yang mempunyai jiwa muthmainnah, maka tidak ada lagi kecemasan dan ketakutan. Hati mereka selalu tenang dan tidak mengenal kata stres. Sebab dalam dadanya seperti tertancap nasihat dari Ibnu Athoillah Assakandari, yaitu: “Kau tak perlu merasa bingung tentang karut-marut dan kemelut kehidupan dunia sepanjang kau masih ada di dalamnya. Memang demikianlah realitas dan sifat kehidupan di muka bumi”.
Seorang muslim yang sudah masuk pada tingkatan muthmainnah akan senantiasa berjiwa besar, positif thinking, perilaku dan raut mukanya senantiasa tenang, berseri, dan bersabar. Sikap muthmainnah ini, akan senantiasa melahirkan perilaku hati dan kebaikan akhlak yang senantiasa mendorongnya untuk berprasangka baik kepada Tuhan dan kepada orang lain.
Jika puasa kali ini mampu membentuk jiwa muthmainnah, pasti akan melahirkan sikap optimism pada diri setiap muslim. Menurut Norman Vincent Peale dalam bukunyaThe Power of Positive Thinking. Masyarakat yang mempunyai imaginasi positif akan dapat merealisasikan masa depan yang cerah. Akhirnya, dalam tinjauan ilmu psikologi, masyarakat Indonesia akan semakin kuat dan tangguh (they become powerful). Sehingga akan mampu menghadapi dan melawan virus korona yang mengancam keselamatan dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.