Kesehatan mental menjadi topik yang trending di masa pandemi COVID-19 ini. Ditemukan setidaknya 5.120.000 tulisan yang berkaitan dengan pandemi dan kesehatan mental di laman pencarian Google. WHO menjelaskan kesehatan mental sebagai suatu kondisi kesejahteraan psikologis (well-being), yang secara awam dipahami sebagai kebahagiaan. Namun pada kenyataannya, sebagai aspek kunci kesehatan mental kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi yang sulit didamaikan dengan berbagai peristiwa hidup yang kadang sulit dan menantang. Bila direnungkan, anjuran untuk memelihara kesejahteraan psikologis memiliki makna yang paradoks, karena sesungguhnya segala sesuatu bersifat sementara.
Oleh karena itu, well-being perlu dimaknai sebagai suatu kondisi yang berubah setiap waktu. Maka, memelihara kesejahteraan psikologis artinya berusaha berdampingan, bersinergi, “hidup” bersama serta beradaptasi dengan berbagai perubahan di dalam hidup. Proses adaptasi yang berhasil akan mewujudkan seseorang menjadi pribadi yang bertumbuh (personal growth). Perubahan yang terjadi selama masa pandemi COVID-19 ini, layaknya perubahan lain yang terjadi di sepanjang kehidupan seseorang, membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi. Ibarat pupuk yang menyuburkan, kemampuan beradaptasi akan memudahkan proses bertumbuh.
Umumnya seseorang akan melalui 2 tahapan adaptasi dalam menuju fase bertumbuh, yaitu (1) fase kecemasan, dan (2) fase belajar. Fase kecemasan ditandai dengan munculnya perilaku yang didasari oleh sebab-sebab emosional, misalnya menjadi mudah cemas karena membaca berita tentang COVID-19, sering mengeluh, takut yang berlebihan jika tertular, membeli masker atau kebutuhan pokok yang berlebihan (panic buying), mudah marah, atau terlalu cepat mendiagnosa diri (self-diagnosis) telah menunjukkan gejala COVID-19. Perilaku-perilaku ini sangat mungkin dialami seseorang pada tahap awal usahanya untuk beradaptasi. Kecemasan masih dianggap wajar bila tidak sampai mengganggu peran dan aktivitas seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan ini dapat diatasi dengan mengelola kondisi emosional atau regulasi emosi, dengan cara mengenali dan mengendalikan pemikiran.
Kedua, fase belajar. Salah satu tanda bahwa seseorang mulai memasuki tahapan fase belajar adalah ketika ia berupaya mengubah fokus pemikiran, dari yang semula fokus pada hal-hal yang tidak bisa dikontrol, menjadi fokus ke hal-hal yang dapat dikontrol. Misalnya, daripada fokus pada maraknya berita yang simpang siur tentang pandemi, lebih baik yang memilah dan memilih sendiri berita yang akan dibaca. Karena berita yang muncul tidak bisa dikontrol, tapi kita bisa pilih mana yang akan kita baca. Contoh lain, daripada sibuk menghujat orang-orang yang tidak taat pada anjuran pemerintah, misalnya tetap nekat belanja ke pasar, berdesakan antre, atau rombongan pergi mudik, lebih baik beraksi nyata menyebarkan informasi yang positif, melakukan edukasi di komunitas sekecil apapun, dan membantu masyarakat yang terdampak semampunya. Keberhasilan memusatkan dan mengendalikan pemikiran melalui perhatian penuh pada kondisi yang sedang terjadi ini, dalam psikologi dikenal dengan istilah mindfulness. Perhatian yang penuh menjadi kunci keberhasilan dalam fase belajar, mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang bertumbuh.
Lantas bagaimana menjadikan puasa sebagai media untuk bertumbuh? Ketika berpuasa, tubuh dan pikiran seperti disetting pada mode bertahan. Berpuasa berarti menahan diri dan dianjurkan untuk lebih banyak beribadah dan melakukan amalan yang baik. Ketika berusaha menahan diri dan mengendalikan pemikiran, kondisi ketika berpuasa mestinya membantu. Berpuasa memberikan kita banyak kesempatan untuk menjadi mindful. Al Ghazali terbiasa melakukan beberapa praktik ibadah yang mendukung mindfullness beliau, yaitu dengan berdoa (do’a), mengingat Allah (dzikr), membaca Al Qur’an (qira’at), dan merenung atau berkontemplasi (fikr). Ini hanya sebagian dari cara dan ritual ibadah yang dapat dilakukan untuk melatih keterampilan mengelola pikiran dan emosi selama berpuasa dan menghadapi perubahan masa pandemi. Namun perlu kita sadari di atas segalanya, dalam QS Ar-Ra’d 11 Allah berfirman bahwa Ia tidak akan mengubah nasib seseorang, kecuali orang tersebut mengubahnya sendiri. Segala upaya menghadapi perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Agar menerima perubahan, seseorang harus berusaha beradaptasi. Agar menjadi mindful, seseorang perlu berusaha fokus pada yang bisa ia kontrol. Maka ini berarti, seseorang perlu berusaha, agar menjadi pribadi yang bertumbuh.