Ramadan 1441 H. adalah bulan puasa dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda dibanding dengan pauasa-puasa sebelumnya. Ibadah puasa pada tahun ini dilaksanakan dalam situasi pandemi covid-19 yang telah menghentikan berbagai aktifitas sosial masyarakat dunia yang dikenal sebaga pembatasan sosial dan fisik (social and physical distancing). Pembatasan di tengah kondisi pandemic semacam itu tentu bukan hanya membutuhankan ketanahan fisik yang esktra, lebih dari itu juga dibutuhkan ketahan mental spiritual yang berlapis.Ada kesabaran dan keikhlasan yang diuji dalam pelaksanaan Ramadhan di tengah pandemi.Disinilah urgensi penghayatan dan pemaknaan puasa sebagai praktik ibadah yang memilik dampak fisik dan psikolgis menemukan relevenasi.
Dalam Hadits riwayat Muslim Nabi saw. menyatakan Lishaimi farhatani farhatun inda iftharihi wafarhatin inda liqa’I rabbih (Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya). Sementara suatu riawayat dari Ali RA. menyatakan Shumuu tasshihuu (Berpuasalah maka engkau akan sehat). Ada dua kata kunci yang bisa kita garisbawahi dari dua riwayat itu yaitu kegembiraan dan kesehatan. Banyak bukti-bukti ilmiah yang menunjukan hubungan antara puasa dan kesehatan yang sudah sering disampaikan pada seminar-seminar imiah maupun ceramah keagamaan.
Salah satu sumber yang mendatangkan kebahagaan adalah cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang mendorong munculnya hormon indorfin yang mengakibatkan kortisol turun dan immunoglobulin naik, yang artinya kekebalan tubuh naik. Sebaliknya marah mendorong naiknya andrenalin yang menaikan kortisol dang menurunkan immunoglobulin yang sudah barang tentu berdampak buruk bagi kesehatan. Inilah barangkali rahasia Sabda Nabi La taghdhab walaka al-jannah (Jangan marah maka bagimu syurga).
Bagi setiap muslim bulan puasa adalah bulan kasih sayang (bulan rahmat). Pada bulan ini setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa sedang dituntun Oleh-Nya menaiki tangga spiritual dan jalan cinta. Allah hendak merengkuhnya dengan menjadikan puasa hanya untuk Allah. Ashiyamu lii (puasa itu hanya untuk-Ku) Demikian dalam suatu riwayat hadits yang menggambarkan betapa Allah sangat menyukai orang yang beribadah puasa. Agar benar-benar diakui sebagai puasa yang disukai Allah tentu ibadah itu harus dilakukan dengan ikhlas. Melakukan ibadah puasa dengan ikhlas artinya menjalankan ibadah itu bukan sebagai beban, sebaliknya dilakukan dengan semanat cinta karena Allah SWT.
Oleh suatu keadaan pandemic kini umat muslim diharuskan menjalankan ibadah itu sambil tetap di rumah (stay home) sering dengan keharusan untuk bekerja dan belajar di rumah (work from home). Namun demikian situasi bukan berarti situasi isolatif yang menjadikan kita tidak berhubungan dengan dunia luar. Sebaliknya, ditengah pandemic covidz19, kita dapat menyaksikan migrasi kehidupan daridunia nyata dengan interaksi yang terbatas ke dalam dunia maya dengan pola interaksi, terbuka dan luas tak terbatas. Dalam keadaan demikian aktifias dan ekspose aktifitas dalam jaringan terjadi secara intensif. Tasusiyah daring, kajian Islam daring, donasi atau sedekah secara online, misalkan adalah beberapa contoh dari fenomena migrasi di atas.
Di tengah migrasi kehidupan keagamaan semacam itu, bagi kaum muslim yang sedang berpuasa, maka tantangan yang berat adalah menjaga kekhusu’an dan keikhlasan menjalankan ibadah. Beribadah dari rumah sudah semestinya meningkatan kualitas. Ramadhan stay home, tidak melaksnakan ibadah di ruang public secara bersama-sama, adalah suatu retret religious dan spiritual yang menyediakan waktu untuk muhasabah, berefleksi dan intens bersama rahmat dan kasih sayang Allah. Ramadan stay home menjadi sumber kegembiraan hakiki kalua kita dengan sabar dan ikhlas mejalani. Kegembiraan yang kita butuhkan untuk memproduksi ketahanan tubuh kita di tengah pandemi. Wallahu A’lam.