Ramadhan kali ini datang kepada kita dengan kondisi yang “spesial”. Mengapa spesial?. Karena ia datang dalam suasana pandemic covid-19. Sebagaimana lazimnya ketika Ramadhan datang, kaum muslimin selalu menyambutnya dengan mengisi bulan ini dengan rangkaian kegiatan ibadah dan kajian keIslaman. Mulai dari ta’lim sehabis Sholat Subuh, kajian menjelang berbuka, sholat terawih dan kultum, hingga tadarusan di malam hari. Namun saat ini, dalam suasana pandemic covid-19, semua kegiatan itu dibatasi, diminta dilaksanakan di rumah masing-masing. Namun tak sedikit Mushola atau masjid yang tetap melaksanakan kegiatan amaliah Ramadhan dengan mematuhi protocol kesehatan yang ketat.
Jika kita renungkan lebih dalam, sebetulnya Ramadhan (puasa) memberikan pelajaran terpenting kepada kita bahwa Ramadhan kembali hadir sebagai momentum bagi kita untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dengan merenungkan kembali makna – makna puasa, kita diharapkan mampu menjadi orang yang lebih bertaqwa. Makna – makna dibalik disyariatkan Ibadah puasa pada bulan Ramadhan antara lain:
Pertama. Inti Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta nafsu kita. Makan dan minum merupakan kebutuhan mendasar (primer) bagi segenap makhluk hidup termasuk manusia. Makan dan minum adalah sarana bagi kita untuk melangsungkan dan mempertahankan kehidupan ini. Artinya jika kita tidak mendapatkan asupan makananan, maka tubuh kita akan menjadi lemas, tidak bertenaga, bahkan dalam waktu lama bisa berakibat kepada kematian. Mudahnya, manusia tidak makan akan mati. Siapapun itu, apakah rakyat, atau pejabat, orang kaya atau miskin, berkuasa ataupun tidak, semua pasti memerlukan makanan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Dari point tsb memberikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk “lemah”. Betapapun hebatnya manusia, sekuat apapun dia, seluas apapun kekuasaanya, pasti ia masih bergantung pada “sesuap” makanan dan “seteguk” minuman. Kodrat Manusia adalah hidup bergantung pada yang lain. Sedangkan yang maha kuat hanyalah Allah SWT. Allah lah yang bersifat “ash- shomad” , yang artinya adalah dzat yang menjadi tumpuan semua makhluk-Nya. Jadi dengan berpuasa kita menjadi mengerti bahwa tanpa makanan kita adalah makhluk yang lemah. Jadi eksistensi kita masih bergantung pada “sesuatu”. Tanpanya kita hanyalah mayat. Maka dari itu bergantunglah kepada Allah sang Maha Pemberi dan Maha Kuasa. Menyadari akan kelemahan dihadapan-Nya dan merasa harus selalu bergantung kepada-Nya, serta mengakui keagungan Tuhan merupakan ajaran penying dalam keimanan. Puasa menyadarkan kita pada hal ini.
Dalam situasi yang demikian ini, maka kita sebagai makhluk yang “lemah” hendaknya selalu memohon kepada Allah sang pengendali semua makhluknya agar kita dapat segera terbebas dari pandemi ini seraya berusaha dan berikhtiyar semaksimal mungkin dalam memerangi wabah ini.
Kedua, ketika berbuka puasa adalah moment yang membahagiakan. Namun harus diingat bahwa makan dan minum berpotensi ganda. Ia dapat menjadikan kita untuk menjadi hamba Allah yang dicintai, atau sebaiknya dengannya kita bisa menjadi hamba yang dimurkai. Makan dan minum dapat mengantarkan kita untuk menggapai ridlo Allah jika kita bersyukur kepada-Nya atas rezeki dan anugrah-Nya yang diberikan sehingga makanan dan minuman dapat hadir di meja, dan kita diberikan kesempatan untuk dapat menikmatinya. Dalam satu hadis sahih dinyatakan bahwa Allah niscaya meridloi seorang hamba yang makan sesuap makanan lalu kemudian ia memuji kepada-Nya, atau ia meminum seteguk air lalu memuji kepada-Nya.
Namun bisa juga sebakiknya, justru makan dan minum bisa menyebabkan kita mendapat siksa dari-Nya, jika kita kufur nikmat, menafikan “peran” Tuhan dalam rezeki yang diperoleh, dan menikmatinya dengan israf (berlebihan). Tidakkah kita ingat bahwa Nabi Adam pernah “diusir” dari surga juga karena sesuap makanan. Nabi Adam karena melanggar ketentuan Allah yakni dengan makan buah Khuldi yang dilarang, maka nabi Adam-pun harun turun dari Surga. Karena itu hendaknya kita tidak melanggar ketentuan – ketentuan Allah dalam makan dan minum. Jangan kufur nikmat, tapi bersyukurlah kepada-Nya. Jangan serakah dan berlebihan, berbagilah dengan orang lain. Terlebih lagi dalam situasi pandemic seperti ini. Dimana banyak orang lain yang sangat membutuhkan, karena itu berbagilah rezeki. Yakinlah Allah akan mengganti dan dan meridloi.
Jadi momentum puasa dan berbuka menjadi sarana untuk menjadikannya sebagai booster keimanan atau obat mujarab untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT sebagaimana firman Allah bahwa tujuan puasa adalah agar kalian menjadi orang yang bertaqwa. (la’allakum tattaqun).